Home » , , , » [Cerpen] Tersesat di Jaman majapahit #8

[Cerpen] Tersesat di Jaman majapahit #8

Episode (8/10)
Memasuki batas wilayah negeri Pasundan. (inti cerita)
Untuk awal cerita silahkan KLIK DISINI

Menembus hutan belantara Jawa bagian tengah memang sangat melelahkan, banyak aral yang melintang. Ancaman dari perampok, hewan buas dan tersesat di dalam hutan selalu mengintai. Namun dengan tekat yang bulat dan semangat yang kuat tak sedikitpun kami gentar menghadapi.

Akhirnya setelah berjalan menembus belantara yang pekat selama berhari-hari, sampailah kami di tugu perbatasan kekuasaan Majapahit, tugu itu nampak tak terawat, letaknya di tengah hutan belantara tepat sebelum kami menemui sungai besar batas wilayah Sunda Galuh.


Setelah menyeberangi sungai besar itu, tibalah kami di perkampungan yang cukup ramai.

"Maaf bu, kalau boleh tau ini kampung apa yaa...???
Sejak menyeberangi sungai Kaliwungu sana, baru kali ini aku menemukan perkampungan dengan hiruk pikuk keramaian pasarnya yang cukup ramai seperti ini...
Karena sepanjang perjalanan beberapa hari ini yang aku temui hanya hutan belantara, kalaupun ada kampung itu hanya perkampungan kecil yang penduduknya mengandalkan hasil berburu dari hutan, hampir tak kami temui pasar ataupun kegiatan perniagaan..." tanyaku pada ibu tua pedagang dipasar sambil memesan makanan sebagai bekal perjalanan.

"Ini daerah Caruban (Cirebon) nak... perkampungan diujung paling timur kekuasaan negeri Pasundan..." jawab ibu itu sembari membungkus makanan yang kami pesan.


Dan untuk asal-usul nama kota Cirebon ini, kelak di abad ke 16 disini akan menjadi pusat produksi terasi udang yang terkenal hingga ke ibu kota kerajaan dan air sisa produksi terasi tersebut banyak yang mengalir ke sungai-sungai yang pada akhirnya kota itu terkenal menjadi kota Cirebon yang artinya Ci = air, sementara Rebon = udang.

"Waahh, berarti ini sudah masuk wilayah kerajaan Sunda Galuh bu...???" Tanyaku makin sempringah.

"Iyaa Nak, ini sudah masuk wilayah Sunda Galuh... sungai itu sebagai batas wilayahnya..." jawab ibu itu sambil menunjuk ke arah sungai besar disisi timur.

"Jadi kalau mau ke pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh kira-kira masih jauh gak bu...???" tanyaku lagi.

"Kira-kira tujuh hari perjalanan berkuda nak, lanjutkan perjalanan kalian menuju barat, terus lurus saja mengikuti jalan ini hingga kalian menemui pelabuhan Kelapa, disitu kalian akan menemukan keramaian kota Sunda Kelapa, setelah itu pergilah ke arah selatan menelusuri jalan di pinggir sungai Ciliwung hingga sampai di daerah hulu. Disana lah letak ibu kota kerajaan Sunda Galuh nak..." jawab ibu pedagang makanan itu sembari menunjuk ke arah barat. Lalu memberikan makanan yang kami pesan.

"Berapa bu harganya...???" aku menanyakan harga makanan yanh saya beli.

"Satu kepeng aja nak..." jawab itu itu.

"Ini bu..." jawabku sembari memberikan satu keping uang logam.

Lalu perjalanan kami lanjutkan terus menuju ke arah barat, selama perjalanan hampir semua lahan sudah menjadi ladang pertanian, dan juga banyak perkampungan-perkampungan ramai disepanjang jalan menuju Sunda Kelapa, ini menandakan penyebaran penduduk di daerah Sunda sudah merata.


Jelas saja, karena wilayah Jawa bagian barat sudah mengenal sistem pemerintahan, tata kota, irigasi dan sistem pertanian yang sudah cukup lama, karena wilayah Pasundan adalah wilayah dimana kerajaan pertama di Pulau jawa berdiri. Yaitu kerajaan Salakanegara pada abad ke-3 Masehi, lalu diganti kerajaan Tarumanegara yang ibu kotanya berada di tepi sungai Citarum. Dan setelah itu kerajaan itu berkembang pesat dan terus melebarkan sayapnya, kalaupun kerajaan itu runtuh itu karena generasinya membuat kerajaan baru dan ibu kotanya tetap masih di wilayah Pasundan. Yang artinya wilayah Pasundan ini tidak pernah terjadi kekosongan kekuasaan sejak awal abad ke-3 masehi.
Berbeda dengan Jawa Tengah, yang sempat ada kerajaan seperti Kalingga dan Mataram Kuno, namun kerajaan itu runtuh dan pindah ke Kediri Jawa Timur dan pada akhirnya tanah Jawa Tengah terbengkalai tanpa perhatian pengasa.
Sedang Jawa Timur baru ada sistem kerajaan pada abad ke-12 masehi setelah kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur mendirikan Kerajaan Kediri.
Ini sebabnya wilayah di Pasundan cenderung lebih maju dan lebih merata penyebaran penduduknya, karena wilayah ini dibangun sejak berabad-abad lamanya.


****

Hingga akhirnya setelah menempuh perjalanan menyusuri tanah Pasundan, sampailah kami di pelabuhan Kelapa, pelabuhan yang sangat ramai dan penuh hilir mudik kapal-kapal besar dan kecil.
Lalu perjalanan diteruskan menuju pusat kota Sunda Kelapa, dan terus menuju selatan mengikuti aliran sungai Ciliwung menuju pusat ibu kota kerajaan Sunda Galuh.


Dan akhirnya setelah berjalan sekitar dua hari dari kota Sunda Kelapa sampailah kita di pusat kota kerajaan Sunda Galuh, disini sungguh nampak sangat ramai namun tetap sejuk karena lokasinya memang di daerah pegunungan (Bogor sekarang). Pusat kota itu dibentengi gunung-gunung besar di sebelah selatan yaitu gunung Gede, Gunung Pangrango dan Gunung Salak.

Setelah memasuki gerbang ibu kota aku dan Wingsang Geni langsung menuju istana untuk mengantarkan surat dari mendiang Putri Dyah Pitaloka dan mengabarkan apa yang telah terjadi tentang Perang Bubat kepada pihak istana.


Aku dan Wingsang langsung menghadap Prabu Bunisora  adik ipar dari prabu Lingga Buana yang gugur dalam perang Bubat.
Karena Prabu Bunisora diberi amanat untuk memimpin kerajaan saat raja Lingga Buana beserta rombongan keluarga pergi ke Majapahit. Karena Pangeran Niskala Wastu Kencana, anak laki-laki prabu Lingga buana (adik Dyah Pitaloka) masih berumur 9 tahun belum layak diangkat menjadi raja. Kelak setelah umur 23 tahun pangeran Wastu Kencana diangkat menjadi raja menggantikan prabu Bunisora.

"Kurang ajar...!!!!
Pecundang sekali Gajah Mada ini..." lantang suara Bunisora, seketika amarahnya berapi-api. Wajahnya memerah marah, kedua telapaknya menggengam keras, tangannya bergetar hebat bagai api yang berkobar tak bisa dipadamkan.

"Pengawal, penggal kedua prajurit Majapahit ini...!!!" suaranya menggelagar sembari menunjuk ke arahku, seraya memberi perintah kepada pengawal kerajaan untuk membunuh kami.

Seketika aku kaget, orang yang sama sekali tak bersalah seperti kami harus dihukum pancung hanya karena kesalahan dari patih Gajah Mada.

Para pengawal kerajaan langsung datang memegangi kedua tangan kami, lalu menyeret kami keluar dari istana.

"Tidak...!!! Tidakkk...!!!
Ini tidak adil, seharusnya kalian menyambut kami dengan baik, karena kami mempertaruhkan nyawa kami untuk pembawa amanat dari putri raja kalian...!!!" aku terus berontak tak terima.

"Sena tenang...!!!" Wingsang menyuruhku untuk tenang.

Lalu aku melihat salah seorang resi (penasehat kerajaan) yang sudah sangat tua memberi nasehat pada Prabu Bunisora.

"Paduka, mendengar kabar ini siapapun akan marah dan tidak akan terima, tapi ketahuilah bahwa amarah itu harus sejalan dengan jalan pikiran, bagaimana pun juga, mereka orang kepercayaan dari putri Dyah Pitaloka, walaupun mereka orang Majapahit namum mereka telah mengorbankan waktu, tenaga bahkan siap mempertaruhkan nyawanya demi mengantarkan amanat dari putri Dyah Pitaloka...
Pertimbangkan lagi titahmu itu Bunisora..." ucap resi (penasehat kerajaan) kepada Prabu Bunisora penuh kebijakan.

"Baik, pengawal... penjarakan dia...!!!" suara Bunisora kembali menggegar memerintahkan pengawal untuk menyeret kami ke penjara.

"Tidaaakkk...!!!! Tidaakkkk...!!!
Ini tetap tidak adil, kalian seharusnya berterimakasih kepada kami... kami bukan penjahat, bukan seperti ini balasan kalian...!!!" Aku terus berontak.

****

Setelah kejadian itu suasana istana kembali tegang, kakacauan di istana sangat genting. Semua pasukan dikerahkan untuk waspada, berjaga-jaga andaikata Majapahit tiba-tiba menyerang.

Tak berapa lama Bunisora sebagai raja Sunda Galuh ke-23 mengeluarkan larangan bagi keluarga istana Sunda untuk menikah dengan laki-laki keluarga dari istana Majapahit. Hingga akhirnya larangan itu menyebar hingga diasumsikan larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa.

****

Sementara itu, aku dan Wingsang Geni masih dikurung dalam penjara, yang tak tahu entah sampai kapan hukuman ini selesai.

"Aku tetap tidak terima atas semua ini Wingsang, mereka sama sekali tak tau balas budi..." ucapku dendam sambil menahan emosi, bahkan air mataku tak kuasa menetes saking sakit hatinya aku pada raja Bunisora.

"Tenang Sena, kita sebagai prajurit harus siap mati kapanpun demi menjaga nama baik kerajaan. Percayalah kita pasti akan selamat..." ucap Wingsang menenangkan.

Saat aku sedang berbincang dengan Wingsang tiba-tiba ada seseorang yang datang mendekat ke ruang tahanan kami.

"Ini ada makanan untuk kalian...
Makanlah agar kesehatan kalian terjaga..." suara lembut itu seketika meredupkan api emosiku. Jiwa yang semula membara kini berubah sejuk bagai embun pagi.

"Terimakasih...
Maaf kamu siapa..." tanyaku pada gadis yang mengantar makanan ke dalam ruang tahananku.

"Namaku Dewi Maesadani Laraswati..." jawabnya lembut dengan senyum dibibirnya yang merekah.

"Namaku Jaka Sasena, biasa dipanggil Sena, ini sahabatku Wingsanggeni, dia biasa dipanggil Wingsang....
Oiya kenapa kamu mau berbuat baik kepadaku...???" akupun memperkenalkan diri dan membuka percakapan.

"Karena aku melihat kejadian di istana kemarin, aku yakin akang-akang ini orang baik karena itulah aku bersikap baik pada akang..." jawab gadis itu penuh lemah lembut khas orang Sunda.

Sejak saat itu Dewi Larasati sering berkunjung ke tahanan, membawa makanan, susu dan buah-buahan. Dilihat dari pakaiannya, Dewi Larasati bukan gadis biasa, dia terlihat anak dari keluarga kerajaan.


Entah takdir atau kebetulan, hari demi hari hubunganku dengan Larasati semakin dekat, ada kecocokan batin antara aku dan dirinya,
menjalani hidup di dalam penjara pun seakan bagai di taman bunga.

Hingga pada hari ke-15 aku dipenjara, datanglah penjaga tahanan menghampiri kami, kami diajak menghadap paduka prabu Bunisora.


"Baik atas pertimbangan jasa kalian yang telah mengantar amanat dari putri Dyah Pitaloka, maka dengan ini hukuman kalian akan aku cabut, dan kalian dibebaskan untuk kembali pulang ke negeri kalian. Kami juga akan memberi hadiah sejumlah uang dan emas sebagai ucapan terimakasih kami..." prabu Bunisora memberi titah untuk membebaskan kami pulang ke negeri kami.

Yaa, titah itu serasa angin surga yang menghembus ditengah gurun yang tandus. Bahkan wajah Wingsang pun kembali bersinar mendengar kabar itu.

Tapi bagiku Kabar gembira itu seakan menjadi kabar yang sangat buruk bagiku, karena bagiku lebih baik hidup di panjara tetapi merasa bahagia karena selalu bertemu dengan gadis pujaan hati dari pada harus bebas tetapi berpisah dengan Dewi Larasati.

Tapi titah raja tidak bisa diganggu gugat, kami harus hengkang secepatnya dari tanah Sunda. Dan itu tidak ada pilihan lain.

*****

Dan hari ini hari ke-3 setelah titah raja itu diucapkan, setelah semua keperluanku disiapkan baik kuda, bekal dan hadiah, kami harus segera bergegas meninggalkan istana serta segera angkat kaki dari tanah Sunda.

Namun saat aku harus meninggalkan gapura istana, tiba-tiba ada yang memanggilku.

"Akang Sena...!!!" ternyata Dewi Larasati memanggilku sembari berlari ke arahku.

Dan aku pun telah mendapatkan informasi bahwa Dewi Larasati adalah anak dari prabu Bunisora dari istri selirnya. Walaupun Larasati anak dari selir namun tetap saja mengharapkannya adalah suatu yang mustahil, apalagi aku orang biasa yang darahku masih berwarna merah, bukan darah biru keturunan raja-raja.
Ditambah adanya larangan bahwa orang Sunda tidak diperbolehkan menikah dengan orang Majapahit, hal itulah yang membuat aku berfikir seribu kali untuk mencintai Dewi Larasati.

"Tunggu akang..." Dewi Larasati terus berlari mendekat ke arahku.

Aku pun meloncat turun dari kuda menghampiri Dewi Larasati untuk terakhir kalinya.

"Laras, jaga dirimu, baik-baik di istana... 
Aku yakin keberuntungan akan selalu berpihak padamu...
Ikhlaskan aku pergi, inilah yang terbaik untuk kita..." ucapku sembari mengusap pipi Larasati yang berdiri tepat di hadapanku, lalu aku mencium keningnya sebagai tanda perpisahan.

"Aku ingin ikut bersamamu akang..." pinta Larasati yang tidak rela melepas kepergianku.

"Itu tidak mungkin Laras, kita tidak mungkin bersama...
Darah yang ada di tubuhmu berwarna biru Laras, semantara darah yang mengalir di tubuhku ini darah yang berwarna merah, aku tidak layak untukmu Laras..." ucapku menjelaskan. Lalu aku memeluk tubuhnya erat.

"Sena..." Wingsang memberi kode saatnya kami harus pergi.

Akupun melepaskan pelukannya, lalu naik ke atas pelana kuda. Dan kami bersiap meneruskan perjalanan ini.
Aku melihat air mata Laras berlinang membasahi pipinya, seakan tak kuasa melepas kepergianku untuk kembali ke tanah leluhurku, Majapahit.

Namun, lagi-lagi perjalanan ini harus terus berjalan.

*****

Kuda yang aku tunggangi berlari semakin kencang, gapura istana makin jauh tak terlihat, namun bayangan wajah Larasati terus tergambar jelas di ingatanku, mencumbui rindu-rindu yang memainkan perasanku.
Ternyata cinta telah menguasai jiwaku.

Hari terus berganti, waktu terus berjalan, dan perjalanan ke arah timur harus tetap dilakukan.
Sesampainya di Caruban (Cirebon) dan hendak menyeberangi sungai besar batas wilayah Sunda Galuh, kegundahan hatiku makin meraja, aku seakan merasa tidak bisa hidup tanpa Larasati, aku benar-benar sedang dimabuk kepayang, bahkan untuk melangkah meninggalkan tanah Sunda pun aku tak bisa.

"Tunggu dulu Wingsang...!!!" ucapku pada Wingsang saat menaiki perahu yang hendak menyeberangkan kami ke sisi timur.

"Kenapa Sena, apa yang terjadi...???" tanya Wingsang heran.

"Aku tak sanggup meneruskan perjalanan ini Wingsang, aku ingin tinggal dan menetap disini, aku tidak bisa berpisah dengan Larasati..." ucapku pada Wingsang, curhat atas apa yang terjadi pada perasaanku.

"Itu tidak mungkin Sena...!!!
Prabu Bunisora akan marah besar jika tau anaknya menjalin kasih dengan orang sepertimu...
Ingat, kita sudah mendapatkan kebaikan dari beliau, kita dibebaskan dan diberi bekal seperti ini, sudah seharusnya berterimakasih, bukan malah melawan titahnya, apalagi menjalin hubungan dengan anaknya, itu sangat berbahaya Sena...!!!" Ucap Wingsang menjelaskan dengan nada tinggi.

"Kamu tidak akan mengerti perasaanku Wingsang...
Baik, pergilah kau sendiri ke Majapahit, biarkan aku tinggal disini menghadapi nara bahaya itu...
Aku sudah siap apapun resikonya, aku akan perjuangan cintaku ini..." jawabku menantang. Sementara Wingsang terperanjat heran mendengar kata-kataku.

Sesaat semua terdiam, membisu tak tau harus berkata apa-apa lagi. Bahkan aku melihat wajah Wingsang dipenuhi rasa kebimbangan.

"Pergilah sobat, Tugas kita sudah selesai...
Kini memang saatnya kita harus berpisah, aku sangat bangga telah mengenalmu...
Sampaikan salamku pada guru Mpu Sasora, katakan aku sangat merindukannya..." ucapku pertanda perpisahan.

Wingsang yang sedari tadi terdiam diatas perahu bersama kudanya, akhirnya memberi kode pada pemilik perahu untuk menjalankan perahunya menyeberangi sungai, tangannya melambai-lambaikan padaku seraya air matanya membasahi pipi.

"Wingsang, kau pendekar sejati, kau orang paling tangguh yang pernah aku kenal, air matamu terlalu berharga untuk ini...
Jangan cengeng Wingsang, kau harus tegar, baik-baik disana sobat..." ucapku berteriak sembari memandang perahu yang mengantar Wingsang semakin menjauh.

*****

Lagi-lagi aku harus melanjutkan petualanganku, kali ini bukan petualangan menjelajah daerah-daerah baru yang belum pernah aku jelajahi, namun petualangan menjelajahi hati seorang putri Raja, Dewi Larasati.
Walaupun penuh nara bahaya, sebagai petualang sejati aku harus bisa menghadapinya sendiri.

"Sekali lagi, perjalanan ini akan terus berjalan..."


============ BERSAMBUNG ============


Untuk kisah selanjutnya KLIK DISINI




Thanks for reading & sharing Ahmad Pajali Binzah

Previous
« Prev Post

1 comments:

recent posts